Dalam beberapa bulan terakhir, isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal kembali menjadi topik hangat di Indonesia. Guncangan ekonomi global, penyesuaian bisnis akibat digitalisasi, hingga pelemahan permintaan di berbagai sektor membuat banyak perusahaan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan dampak ekonomi, tetapi juga sosial dan psikologis bagi para pekerja terdampak. Di tengah situasi tersebut, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK sebagai langkah antisipatif. Namun, seberapa efektif langkah ini dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan yang kompleks di Indonesia? Artikel ini akan membahas lebih jauh potret ketenagakerjaan saat ini, keberadaan Satgas PHK, serta berbagai alternatif dan rekomendasi yang dapat ditempuh perusahaan dalam menangani kondisi krisis.
Dalam dua bulan pertama 2025, Indonesia mencatat angka PHK massal yang cukup tinggi. Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebutkan bahwa 44.069 pekerja di-PHK dari 37 perusahaan, dengan konsentrasi terbesar di DKI Jakarta (Krajan, 2025). Penyebabnya beragam: relokasi pabrik, penutupan usaha, hingga penurunan permintaan akibat kondisi ekonomi global yang masih belum stabil.
Lonjakan PHK ini memicu kekhawatiran di berbagai pihak. Tidak hanya bagi pekerja, tapi juga bagi pemerintah yang harus menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Sebagai respons cepat, pemerintah membentuk Satgas PHK untuk melakukan pemetaan sektor terdampak, memfasilitasi dialog antara pengusaha dan buruh, serta menyusun rekomendasi kebijakan untuk menekan angka PHK (Neraca, 2025).
Terlebih di situasi ekonomi saat ini, Hari Buruh menjadi ruang evaluasi kolektif terhadap kondisi ketenagakerjaan dan keberpihakan sistem terhadap buruh.
Peringatan Hari Buruh Internasional yang ditetapkan pada tanggal 1 Mei, menjadi momentum bagi pemerintah untuk menjawab krisis saat ini. Rancangan Satgas PHK diharapkan mampu menjadi ruang negosiasi tripartit (pemerintah, perusahaan, pekerja) yang efektif. Namun, sejumlah kalangan menilai keberadaan Satgas ini masih bersifat reaktif. Menurut analisis di Kompas (2025), pemerintah perlu memastikan bahwa Satgas PHK tidak hanya hadir saat krisis terjadi, tetapi juga memiliki sistem deteksi dini serta mitigasi jangka panjang di level industri.
Di luar kebijakan pemerintah, perusahaan sejatinya memiliki tanggung jawab untuk mencari solusi alternatif sebelum mengambil keputusan PHK. Karena, jika menggunakan point of view terhadap karyawan yang hadir sebagai aset masa depan bagi perusahaan, maka PHK menjadi pertimbangan akhir setelah mengkaji hal-hal sekunder yang bisa ditekan. Karena jika perusahaan mampu menyiapkan ekosistem yang bertumbuh, maka secara tidak langsung turut membangun potensi karyawan yang fungsional dan solutif menghadapi krisis.
Di tengah situasi krisis nasional, pendekatan instan seperti PHK kerap dianggap sebagai solusi paling cepat untuk meredam tekanan bisnis. Padahal, keputusan tersebut seringkali tidak disertai dengan pertimbangan dampak jangka panjang dan berisiko melemahkan ketahanan organisasi di masa depan. Karena itu, penting bagi semua pihak untuk membangun ekosistem ketenagakerjaan yang tanggap dan adaptif dengan menerapkan berbagai strategi yang lebih sistemik.
Dari sisi pemerintah, peran sebagai regulator perlu diperkuat. Fungsi pengawasan dan penyusunan kebijakan yang adaptif harus terus dioptimalkan agar pelaku usaha memiliki panduan jelas dalam menyikapi krisis, tanpa harus menjadikan PHK sebagai pilihan utama.
Sementara itu, organisasi buruh perlu didorong untuk tidak hanya berperan sebagai pengawas atau penekan kebijakan, tetapi juga sebagai mitra strategis. Penguatan kapasitas melalui program capacity building berbasis data dan riset dampak sangat penting agar buruh dapat memperjuangkan hak dan kepentingannya secara konstruktif serta ikut berkontribusi dalam merumuskan solusi ketenagakerjaan yang berkelanjutan.
Dari perspektif perusahaan, sudah saatnya talent development dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan beban. Perusahaan yang secara konsisten mengembangkan SDM melalui reskilling, upskilling, job redesign, hingga penyusunan roadmap transformasi organisasi terbukti lebih tangguh menghadapi disrupsi dan ketidakpastian ekonomi.
Terakhir, di tingkat individu, para pekerja juga perlu proaktif meningkatkan kompetensi diri. Mengikuti pelatihan, sertifikasi, atau memperluas jejaring profesional, baik secara daring maupun luring, menjadi strategi penting untuk mempertahankan daya saing dan meningkatkan ketahanan karier di tengah persaingan tenaga kerja yang semakin ketat.
Ingin memulai inisiatif transformasi? Konsultasikan bersama Maxima Impact Consulting dan temukan solusi yang pas dengan Anda!